Selasa, 08 Maret 2011

INTELEGENSI




Banyak yang sepakat inteligensi adalah bentuk “higher-order” dari kerja kognitif dimana pembrntukan konsep, penalaran, pemecahan masalah, kreativitas, memori dan persepsi sangat dipengaruhi oleh inteligensi. R. Sternberg(1982) seseorang yang inteligen mempunyai karakteristik yaitu, logika berpikirnya baik, bacaannya luas, cara berfikirnya terbuka, pemahaman terhadap bacaan bagus. Untuk definisi kerja maka inteligensi adalah kemampuan menerima, merecal, dan menggunakan pengetahuannya umtuk memahami konsep yang konkret maupun abstrak, mampu mencari hubungan antar obyek dan ide, dan menggunakan pengetahuannya dalam berbagai hal yang penuh manfaat.

  1. Kemampuan-kemampuan inteligen

Nickerson, Perkins dan Smih(1985) mengumpulkan berbagai kemampuan yang menggambarkan seorang inteligen, yaitu :
*  untuk mengklasifikasi. Manusia yang mempunyai Kemampuan inteligensi normal akan mampu mengklarifikasi stimulus yang kurang jelas. Dijadikan dasar dalam berfikir dan berbicara.
*  Kemampuan untuk memodifikasi perilaku secara adaptif atau mampu belajar. Seorang yang inteligen adalah mampu beradaptasi dengan baik.
*  Kemampuan untuk berfikir deduktif. Kemampuan berfikir logis dapat menunjukan tingkat inteligen seseorang.
*  Kemampuan untuk berfikir induktif, mampu membuat generalisasi. Dengan kemampuan ini seseorang mampu menerima informasi secara efektif dan nalar.
*  Mampu mengembangkan dan menggunakan model konseptual. Mampu memahami dunia ini dengan cara tertentu dan menggunakan suatu konsep untuk memahami suatu kejadian.
*  Kemampuan untuk memahami. Mampu menemukan berbagai relasidari suatu masalah dan makna dari suatu permasalahan.
  1. Analisis Faktor dari Inteligensi
Charles Spearman (1904,1927), inteligensi terdiri dari dua faktor yaitu faktor g (general factor) dan faktor s (specific factor).
R. Cattel(1965), mengajukna model hirarki tentang inteligensi umum yaitu inteligensi terdiri dari dua faktor yang dinamai dengan fluid ability dan crystallized ability. Fluid ability adalah kemampuan melakukan abstraksi, diwujudkan dalam kemampuan berfikir induktif, analogi dan dapat ditunjukan dalam bentuk seri tes melengkapi. Cristallized ability merupakan akumulasi dari fakta-fakta dan pengetahuan umum dan dapat ditunjukan dalam bentuk tes vocabulary dan pengetahuan umum.

            R. Sternberg (1989) mengajukan teori inteligensi dengan nama Triarchic theory yang terdiri dari tiga subteori :

  1. Componential intelligent behavior. Mendasari stuktur dan mekanisme inteligensi pada manusia. Ada 3 komponen pemrosesan informasi yaitu (a) mempelajari bagaimana mengerjakan sesuatu, (b) merencanakan hal apa yang akan dikerjakan dan bagaimana caranya, (c) mengerjakan apa yang harus dikerjakan. Biasanya orang dengan kemampuan ini mampu mengerjakan tes dengan baik tetapi bukan pemikir yang kritis dibutuhkan dalam kreativitas.
  2. Experiential intelligent behavior. Menunjukan bahwa untuk suatu tugas atau situasi yang diberikan, perilaku yang pantas secara kontektual tidak sama dengan inteligen pada semua poin urutan pengalaman untuk suatu perilaku maupun sekumpulan perilaku. Umumnya hasil tes Iqnya tidak tinggi tetapi kreatif dan umumnya mampu memprediksi kesuksesannya.
  3. Contextual intelligent behavior. Komponen ini meliputi (a) adaptasi terhadap lingkungan yang ditemui, (b) seleksi yang lebih mendekati optimal terhadap lingkungan disbanding individu lain yang tidak biasa, (c) membentuk lingkungan lebih baik sesuai keahlian yang dimiliki, sesuai keahlian yang dimiliki, sesuai keahlian yang dimiliki, sesuai interes atau nilai-nilai yang dianut.



PENDEKATAN-PENDEKATAN ALTERNATIF TERHADAP INTELIGENSI

KONTEKS BUDAYA DAN INTELIGENSI

Menurut kontekstualisme, inteligensi mestinya dipahami dalam konteks dunia nyata. Para kontekstual meyakini bahwa inteligensi berkaitan erat dengan budaya. Mereka memandang inteligensi sebagai sesuatu yang diciptakan budaya untuk mendefinisikan sifat adaptif suatu performa tindakan di dalam budaya tersebut.
Definisi tentang budaya (seperti Brislin, Lonner dan Thorndike, 1973; Kroeber dan Kluckhohn, 1952). Definisi budaya sebagai “seperangkat sikap, nilai, keyakinan, dan perilaku yang dilakukan oleh sekelompok orang, dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya lewat bahasa atau cara-cara lain berkomunikasi (Barnouw, 1985)”. Istilah budaya bisa digunakan dengan banyak cara dan memiliki sebuah sejarah yang panjang.
Salah satu alasan untuk mempelajari budaya dan inteligensi adalah keduanya berjalinan begitu rumit. Bahkan, Tomasello (2001) berpendapat bahwa budaya adalah apa yang memisahkan kecerdasan manusia dari kecerdasan hewan. Tomasello yakin manusia sudah berkembang sampai sekarang sebagian karena dipengaruhi oleh adaptasi budaya mereka, sesuatu yang berkembang dari kemampuan mereka bahkan sejak mereka masih bayi di usia 9 bulan sampai dewasa, untuk memahami orng lain sebagai agen-agen yang memiliki intensi tertentu.
Helmz-Lorenz dan kolega-koleganya (2003) berpendapat bahwa perbedaan-perbedaan ukuran di dalam performa intelektual tersebut bisa jadi merupakan hasil dari perbedaan-perbedaan di dalam kompleksitas budaya. Namun, kompleksitas sebuah budaya jelas sulit didefinisikan, dan apa yang tampaknya menjdi sesuatu yang sederhana atau kompleks dari sudut pandang sebuah budaya mungkin tampak berbeda dari sudut pandang yang lain.
Individu di budaya yang berbeda bisa jadi memiliki ide-ide yang berbeda tentang apa yang dimaksutkan dengan pintar. Contoh, salah satu studi lintas-budaya mengenai inteligensi yang dilakukan oleh Michael Cole dan kolega-koleganya (1971).
Beberapa peneliti telah menunjukan bahwa kemungkinan menyediakan tes-tes yang relevan secara budaya bisa saja dicapai. Tes-tes yang relevan dengan budaya mengukur kemampuan dan pengetahuan yang berkaitan dengan pengalaman budaya partisipan.
Singkatnya, untuk membuat sebuah tes relevan secara budaya, tampaknya kita memerlukan lebih daripada sekadar menghilangkan perintang-perintang linguistik yang spesifik bagi pemahaman. Efek-efek konteks yang sama tampak di dalam performa anak-anak dan orang dewasa di berbagai tugas. Ada tiga jenis konteks yang mempengaruhi performa yaitu :
  1. Konteks sosial
Contoh: Apakah sebuah tugas dianggap maskulin atau feminin?
  1. Konteks mental
contoh: Apakah sebuah tugas visuospasial melibatkan pembelian atau pencurian sebuah rumah?
  1. Konteks fisik
Contoh : Apakah sebuah tugas disajikan di pantai atau di Laboratorium??

Di dalam studi-studi ini, para peneliti lebih banyak mengamati interaksi antara kognisi dan konteks. Dari sini, beberapa peneliti yang lainmengusulkan beberapa teori untuk menguji secara eksplisit interaksi tersebut di dalam sebuah model yang lebih banyak mengintegrasikan sebagian besar aspek inteligensi. Teori-teori tersebut memandang inteligensi sebagai sebuah sistem kompleks.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar