Selasa, 08 Maret 2011

Wanita Telat Nikah Lebih Gampang Menyakiti?


Sikap tidak butuh menikah umumnya terjadi di kota-kota besar, di mana dunia kerja telah menyita hampir seluruh minat dan perhatian mereka. Banyak kesenangan yang dapat diperoleh melalui pekerjaan. Bukan saja penghasilan, melainkan juga kesenangan terhadap pekerjaan itu sendiri, dan berbagai peluang untuk mengembangkan diri. Pekerjaan yang menarik semacam itu bisa di bidang entertainment yang menyita waktu, karier di organisasi pemerintah ataupun nonpemerintah yang menantang dan menyangkut hajat hidup masyarakat luas, maupun perusahaan swasta yang maju. Bila ini yang terjadi, perkawinan bukan lagi menjadi prioritas.Sebagian lainnya menunda perkawinan karena ingin mapan secara ekonomi dan mental. Jadi, selama dua hal itu dirasa belum mapan, mereka belum mau bicara soal perkawinan.
Harapan Masyarakat
Orangtua umumnya menjadi gelisah bila anaknya yang telah memasuki masa dewasa belum menikah. Apa yang digambarkan dalam iklan, yakni ungkapan ”Kapan kawin??”tampak mewakili harapan orangtua terhadap orang muda yang sudah matang. Sebagian masyarakat di kota-kota besar cukup maklum dengan keadaan orang muda yang lebih memilih karier daripada menikah. Terutama bila yang bersangkutan terlihat bahagia dengan keadaannya, orang-orang lain akan maklum.
Namun, di dalam masyarakat terdapat suatu norma, bahwa setiap orang yang telah memasuki masa dewasa selayaknya memiliki pasangan dan memasuki jenjang perkawinan. Norma ini berasal dari ajaran agama maupun budaya setempat.
Batas usia harapan menikah ini berbeda-beda, dan dapat berubah dari masa ke masa. Ada yang mematok 18 tahun, 25, 30, dan seterusnya. Harapan usia menikah untuk pria dan wanita biasanya berbeda, pria lebih tinggi daripada wanita.
Norma tentang usia perkawinan itu merupakan bagian dari tugas perkembangan. Dalam psikologi, tugas perkembangan individu dalam tiap-tiap rentang usia (bayi hingga lansia/dewasa akhir), telah digariskan. Khususnya mengenai perkawinan, ini merupakan bagian dari tugas perkembangan individu yang semestinya sudah dicapai pada masa dewasa awal (berkisar 21-35 tahun), sebelum masuk usia tengah baya. Tugas perkembangan ini digariskan mengikuti potensi-potensi yang dalam keadaan normal berkembang terus sepanjang siklus kehidupan manusia. Potensi-potensi yang dipertimbangkan meliputi potensi fisik, psikis, dan sosial.
Dampak Pandangan Masyarakat
Meskipun sebagian orang muda bersikap masa bodoh terhadap perkawinan, tidak semua menyikapinya seperti itu. Entah karena nilai-nilai pribadi atau konformitas terhadap norma agama dan budaya, sebagian orang menjadi gelisah bila tenggat waktu yang ditargetkan untuk menikah belum kesampaian. Sesuai tugas perkembangan, biasanya kecemasan mulai muncul pada usia pertengahan dewasa awal (setelah 27 tahun). Kegelisahan karena terlambat menikah lebih banyak terjadi pada wanita. Hal ini terjadi karena dua kemungkinan: 1) dorongan internal yang lebih kuat untuk hidup dalam harmoni bersama pasangan; 2) pandangan masyarakat yang cenderung lebih negatif terhadap wanita yang dianggap telat menikah. Meski demikian, cukup banyak wanita yang harapannya untuk menikah belum terpenuhi, tidak membuat mereka rendah diri. Ini biasanya terjadi pada mereka yang sibuk dalam karier yang menyenangkan.

SOLUSI
Keinginan untuk mencapai jenjang karir yang diinginkan oleh wanita akan memacu wanita tersebut untuk terus berkonsentrasi mensukseskan karir sehingga mengkesampingkan urusan pernikahan. Memang pencapaian karir akan sangat berpengaruh pada kepuasaan batinnya, apabila dia berhasil dan sukses, maka tugas perkembangan selanjutnya akan dapat dia jalankan (menikah), tetapi apabila dia merasa kurang berhasil, maka dia akan terus berusaha meningkatkan dan mengoptimalkan kemampuannya untuk mencapai kepuasan batinnya.
Akan tetapi tidak semua wanita karir yang telah mencapai kepuasan dalam berkarir akan melaksanakan pernikahan. Dan sebaliknya, tidak semua wanita yang belum mencapai kepuasan akan menunda perkawinannya.
Hal-hal yang menyebabkan mereka menunda pernikahan terutama berasal dari dirinya sendiri yang belum siap berumah tangga, atau memang mereka belum mempunyai pasangan hidup. Mereka tidak berani ambil resiko pencapaian karirnya akan sia-sia jika setelah menikah suami mereka akan melarang untuk tetap berkarir. Tidak semua suami mengijinkan istrinya berkarir, sebagian dari mereka menganggap istri hanya berkewajiban untuk mengurus rumah tangga.
Hendaknya wanita karir merubah pola pikirnya untuk bisa mencari kesenangan bersama dengan pasangannya untuk bisa melaksanakan tugas perkembangannya, memiliki pasangan hidup dan menikah. Mereka semestinya juga memikirkan masa depan, harapan orang tua, dan tuntutan masyarakat.
Wanita yang telat menikah disebabkan karena kurangnya pertemanan atau persahabatan yang menjadikannya sebagai orang yang kesepian. Seharusnya dia lebih bisa mengakrabkan dengan lingkungan kantor atau di tempat tinggal. Kesepian disebabkan karena adanya pengaruh dari pengalaman di masa lalunya yang mengakibatkan dirinya merasa takut untuk bisa menjalin keakraban dengan orang lain.
Ada juga wanita yang menunda pernikahannya dikerenakan ketakutan akan mitos-mitos pernikahan ada dan berlaku di masyarakat. Budaya yang harus dijalani sebelum atau setelah menikah menyatukan dua kepribadian yang berbeda, prinsip dan kebudayaan yang berbeda. Seperti halnya pernikahan yang terjadi pada dua budaya yang berbeda atau pernikahan antara dua keyakinan yang berbeda yang jarang bisa diterima oleh lingkungan setempat.
Kekhawatiran seorang wanita jikalau suaminya nanti akan berubah tidak seperti disaat mereka belum menikah. Suami kurang perhatian, kurang menunjukkan perhatian, dan kurang bisa mengungkapkan secara terbuka pada istrinya.
Sebagai makhluk sosial manusia tidak bisa hidup sendiri, membutuhkan orang lain. Seperti halnya pada wanita, membutuhkan sesosok pria mendapatkan cinta dan kasih sayang, perhatian, perlindungan, pengayom, dan penasehat dalam hidupnya. Tetaplah seorang wanita itu tidak bisa memaksakan dirinya untuk hidup terlalu mandiri.
Untuk merubah image negatifnya sebagai perawan tua wanita hendaknya tidak terlalu cuek untuk menanggapinya dan mengambil hati sehingga membuat perasaan-perasaan negatif keluar dari pikiran wanita.tetap menjaga hubungan yang baik dengan orang-orang dan masyarakat sekitar agar tidak terlalu dicap sebagai perawan tua yang negatif.


Proses Pendewasaan


PERKEMBANGAN FISIK PADA DEWASA MADYA


Pada masa dewasa tengah, apa yang telah kita bentuk asdalah apa yang akan kita peroleh. Untuk beberapa diantara kita, usia tengah baya adalah masa-masa membingungkan, sebuah masa dimana kita perlu menyadari kita melarikan diri dari apa, kemana kita berlari dan mengapa kita melarikan diri. Kita membandingkan hidup kita dengan kehidupan yang kita bayangkan. Pada usia tengah baya, semakin banyak waktu yang terbentang di hadapan kita, dan beberapa penilaian-mau tidak mau-harus dibuat. Seperti polaritas muda-tuamemaksa kita untuk menghadapinya, kita perlu mengesampingkan keberanian orang muda dan kebijakksanaan orang dewasa dengan seimbang. Sebagai orang dewasa tengah, akhirnya kita menyadari bahwa setiap generasi hanya hidup sesaat dan seperti seorang pelari, memberikan obor kehidupan kepada generasi selanjutnya.
Dewasa madya pada umur 41-65 tahun. Pada dewasa tengah mulai tampak beberapa perubahan. Melihat dan mendengar adalah dua perubahan yang paling menyusahkan dan paling tampak dalam masa dewasa tengah. Individu pada usia tengah baya mulai mengalami kesulitan melihat obyek-obyek yang dekat. Aliran darah pada mata juga berkurang, walaupun biasanya tidak sampai usia 50-60 tahun. Pendengaran mungkin jua muLai usia 40an. Sensivitas pada nada tinggi biasanya menurun terlebih dahulu, meskipun kemampuan untuk mendengar suara-suara bernada rendah tidak begitu kelihatan menurun pada masa dewasa tengah. Laki-laki biasanya kehilangan sensivitasnya terhadap suara bernada tinggi lebih dulu daripada perempuan. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh besarnya pengalaman laki-laki terhadap suara gaduh dalam pekerjaan seperti pertambangan, bengkel mobil, dan sebagainya.

STATUS KESEHATAN

Status kesehatan menjadi persoalan utama pada masa dewasa tengah karena lebih banyak waktu dihabiskan untuk mengkhawatirkan kesehatan dibandingkan pada masa dewasa awal dengan dewasa tengah dikarakterisasikan oleh penurunan umum kebugaran fisik, penurunan tertentu dalam kesehatan juga telah diperkirakan. Masalah kesehatan utama pada orang dewasa tengah adalah penyakit kardiovaskuler, kanker, dan berat badan. Kardiovaskuler pembunuh pertama di Amerika Serikat diikiti oleh kanker dan berat badan.
Sebuah penelitian menemukan bahwa perempuan berusia tengah baya lebih memfokuskan perhatian pada daya tarik wajah daripada perempuan lebih tua atau lebih muda. Dalam penelitian ini, perempuan berusia dewasa tengah lebih menganggap tanda-tanda penuaan sebagai pengaruh negatif terhadap penampilan fisiknya. Tetapi pada laki-laki dianggap sebagai tanada daya tarik, tanda yang sama mungkin dianggap tidak menarik pada perempuan. Misal, keriput pada wajah dan rambut beruban melambangkan kekuatan dan kedewasaan pada laki-laki tetapi mungkin dianggap tidak menarik pada perempuan.

GAYA HIDUP, KEPRIBADIAN, dan KESEHATAN

Pada waktu individu berusia 34-50 tahun, adalah kelompok usia yang paling sehat, paling tenang, paling bisa mengontrol diri, dan juga paling bertanggung jawab. Tiga kelompok ciri-ciri kepribadian yang telah secara mendalam diselidiki sebagai faktor-faktor dalam stres dan kesehatan adalah perilaku tipe A, Tipe C, dan ketangguhan. Perhatian yang sangat besar telah berkembang sehubungan dengan peran stres  dan diet terhadap penyakit kanker.
Pola perilaku tipe A, suatu kelompok karakteristik, yang meliputi daya saing yang berlebihan, dorongan keras, ketidaksabaran dan permusuhan, dianggap terkait dengan timbulnya penyakit jantung. Perilaku tipe C mengacu pada kepribadian yang mudah terkena kanker, yang bercirikan menahan diri, gelisah, tegang, tidak mampu mengungkapkan emosi, dan merasa terkekang. Tipe individu ini lebih mungkin terkena kanker daripada orang yang lebih ekspresif. Ketangguhan adalah gaya kepribadian yang dikarakteristikan oleh suatu komitmen, pengendalian dan persepsi terhadap masalah-masalah sebagai tantangan(daripada sebagai ancaman).

STRES, DIET, dan KANKER

            Menemukan hubungan antara stres dengan kanker adalah kontroversial.




Pada rentang usia 35-60 tahun, dewasa madya menghadapi banyak perubahan yang signifikan di berbagai area kehidupannya. Perubahan yang paling besar berkaitan dengan gaya hidup, yang dipengaruhi oleh perkembangan fisik dan kesehatan, karir dan isu-isu financial, berubahnya peran dalam perkawinan, aktivitas waktu luang, serta nilai-nilai pribadi. Bagi banyak orang, usia midlife merupakan saat dimana seseorang bertanya pada dirinya sendiri berapa lama lagi waktu yang ia miliki, kemudian mulailah individu kembali mengevaluasi hidup mereka, hubungan personal dengan orang lain, pekerjaan mereka, bahkan mulai mempertanyakan arti dari semua hal di dunia ini. Proses tersebut dikenal dengan nama krisis paruh baya. Evaluasi paling penting yang dimiliki dewasa madya pada tahap ini adalah: apa yang bisa mereka lakukan, apa yang ingin mereka lakukan, dan apa yang diharapkan dari mereka.
Para dewasa madya cenderung untuk menyesuaikan harapan idealistik mereka menjadi kemungkinan-kemungkinan yang realistik. Penyesuaian-penyesuaian yang harus dilakukan biasanya memunculkan stress, terutama ketika seseorang harus menyesuaikan diri pada perubahan yang paling kentara, yaitu karir dan finansial, proses ini, bagi kebanyakan dewasa madya akan mengarah pada perubahan midlife career. Hidup di dunia yang penuh tantangan dimana generasi-generasi muda lahir dan mulai bekerja pada usia yang sangat muda, menyisakan dewasa madya dengan pilihan dan kesempatan yang semakin terbatas. Pilihan aktivitas yang paling mungkin untuk dijalani setelah pensiun adalah dengan berwirausaha. Dalam dunia modern wirausaha seringkali dimanfaatkan tidak hanya sebagai alat ekonomi, namun juga sebagai gaya hidup yang memenuhi kebutuhan manusia yang begitu kompleks. Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri faktor-faktor yang mempengaruhi intensi dewasa madya memilih wirausaha, dikaitkan dengan pemenuhan kebutuhan dewasa madya akan keamanan finansial, status sosial, pemenuhan harapan diri, tuntutan sebagai orang tua yang berhasil, kebutuhan mempertahankan eksistensi, dan berbagai kebutuhan lain.
Menurut teori planned behavior (Azjen & Fishbein, 1980) intensi merupakan hasil dari bagaimana individu bersikap terhadap suatu objek, nilai-nilai yang ditekankan oleh lingkungan sosial, serta keyakinan diri untuk mencapai suatu kesempatan merealisasi dan perhitungan berhasilnya intensi tersebut. Dengan berpatokan pada teori ini, peneliti wirausaha Krueger (1993) menerapkannya dalam penelitian mengenai wirausaha, dan melahirkan model intensi kewirausahaan yang mengkaitkan intensi wirausaha dengan demografi, sikap individu terhadap prestasi, risiko, dan kebebasan, serta self-efficacy. Menggunakan kedua model intensi di atas, penelitian ini mengambil sudut pandang personal untuk menjelaskan intensi dengan metode kualitatif. Data-data penelitian dikumpulkan dengan melakukan wawancara untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi intensi wirausaha pada dewasa madya.
Hasil yang didapat dalam penelitian ini menunjukkan bahwa intensi wirausaha pada dewasa madya dipengaruhi oleh kepercayaan bahwa wirausaha merupakan sesuatu yang mungkin; bahwa keberhasilan adalah hal yang mungkin, harus, dan sangat penting untuk diraih. Para responden umumnya menyadari kondisi perubahan yang sedang mereka hadapi, sebagian besar responden telah memikirkan dan merencanakan wirausaha sebagai pilihan karir midlife setelah pensiun. Para responden menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang termotivasi dan fokus, yang memiliki kapasitas untuk bekerja. Mereka juga mengungkapkan keinginan untuk berkontribusi pada masyarakat.
Hambatan umum bagi dewasa madya untuk berwirausaha adalah ketakutan untuk memulai sesuatu yang baru pada usia yang tidak muda lagi, risiko kegagalan, serta tantangan yang menjemukkan. Namun pada dasarnya responden menemukan jalan keluar bagi mereka sendiri, yaitu memahami bahwa ketakutan muncul karena ketidaktahuan, sehingga untuk memerangi ketakutan adalah dengan belajar. Dukungan yang mereka peroleh dari orang-orang yang signifikan juga merupakan suatu modal yang paling mempengaruhi intensi wirausaha.
Peneliti berharap bahwa pengalaman para responden dapat memberikan kontribusi dan pertimbangan bagi dunia wirausaha serta para dewasa madya dalam menghadapi fase paruh baya mereka. Pada akhirnya dewasa madya menemukan bahwa tahapan kehidupan yang sedang mereka jalani, yang merupakan jembatan menuju dewasa akhir, bukanlah semata-mata mengenai aging, melainkan mengenai living.


INTELEGENSI




Banyak yang sepakat inteligensi adalah bentuk “higher-order” dari kerja kognitif dimana pembrntukan konsep, penalaran, pemecahan masalah, kreativitas, memori dan persepsi sangat dipengaruhi oleh inteligensi. R. Sternberg(1982) seseorang yang inteligen mempunyai karakteristik yaitu, logika berpikirnya baik, bacaannya luas, cara berfikirnya terbuka, pemahaman terhadap bacaan bagus. Untuk definisi kerja maka inteligensi adalah kemampuan menerima, merecal, dan menggunakan pengetahuannya umtuk memahami konsep yang konkret maupun abstrak, mampu mencari hubungan antar obyek dan ide, dan menggunakan pengetahuannya dalam berbagai hal yang penuh manfaat.

  1. Kemampuan-kemampuan inteligen

Nickerson, Perkins dan Smih(1985) mengumpulkan berbagai kemampuan yang menggambarkan seorang inteligen, yaitu :
*  untuk mengklasifikasi. Manusia yang mempunyai Kemampuan inteligensi normal akan mampu mengklarifikasi stimulus yang kurang jelas. Dijadikan dasar dalam berfikir dan berbicara.
*  Kemampuan untuk memodifikasi perilaku secara adaptif atau mampu belajar. Seorang yang inteligen adalah mampu beradaptasi dengan baik.
*  Kemampuan untuk berfikir deduktif. Kemampuan berfikir logis dapat menunjukan tingkat inteligen seseorang.
*  Kemampuan untuk berfikir induktif, mampu membuat generalisasi. Dengan kemampuan ini seseorang mampu menerima informasi secara efektif dan nalar.
*  Mampu mengembangkan dan menggunakan model konseptual. Mampu memahami dunia ini dengan cara tertentu dan menggunakan suatu konsep untuk memahami suatu kejadian.
*  Kemampuan untuk memahami. Mampu menemukan berbagai relasidari suatu masalah dan makna dari suatu permasalahan.
  1. Analisis Faktor dari Inteligensi
Charles Spearman (1904,1927), inteligensi terdiri dari dua faktor yaitu faktor g (general factor) dan faktor s (specific factor).
R. Cattel(1965), mengajukna model hirarki tentang inteligensi umum yaitu inteligensi terdiri dari dua faktor yang dinamai dengan fluid ability dan crystallized ability. Fluid ability adalah kemampuan melakukan abstraksi, diwujudkan dalam kemampuan berfikir induktif, analogi dan dapat ditunjukan dalam bentuk seri tes melengkapi. Cristallized ability merupakan akumulasi dari fakta-fakta dan pengetahuan umum dan dapat ditunjukan dalam bentuk tes vocabulary dan pengetahuan umum.

            R. Sternberg (1989) mengajukan teori inteligensi dengan nama Triarchic theory yang terdiri dari tiga subteori :

  1. Componential intelligent behavior. Mendasari stuktur dan mekanisme inteligensi pada manusia. Ada 3 komponen pemrosesan informasi yaitu (a) mempelajari bagaimana mengerjakan sesuatu, (b) merencanakan hal apa yang akan dikerjakan dan bagaimana caranya, (c) mengerjakan apa yang harus dikerjakan. Biasanya orang dengan kemampuan ini mampu mengerjakan tes dengan baik tetapi bukan pemikir yang kritis dibutuhkan dalam kreativitas.
  2. Experiential intelligent behavior. Menunjukan bahwa untuk suatu tugas atau situasi yang diberikan, perilaku yang pantas secara kontektual tidak sama dengan inteligen pada semua poin urutan pengalaman untuk suatu perilaku maupun sekumpulan perilaku. Umumnya hasil tes Iqnya tidak tinggi tetapi kreatif dan umumnya mampu memprediksi kesuksesannya.
  3. Contextual intelligent behavior. Komponen ini meliputi (a) adaptasi terhadap lingkungan yang ditemui, (b) seleksi yang lebih mendekati optimal terhadap lingkungan disbanding individu lain yang tidak biasa, (c) membentuk lingkungan lebih baik sesuai keahlian yang dimiliki, sesuai keahlian yang dimiliki, sesuai keahlian yang dimiliki, sesuai interes atau nilai-nilai yang dianut.



PENDEKATAN-PENDEKATAN ALTERNATIF TERHADAP INTELIGENSI

KONTEKS BUDAYA DAN INTELIGENSI

Menurut kontekstualisme, inteligensi mestinya dipahami dalam konteks dunia nyata. Para kontekstual meyakini bahwa inteligensi berkaitan erat dengan budaya. Mereka memandang inteligensi sebagai sesuatu yang diciptakan budaya untuk mendefinisikan sifat adaptif suatu performa tindakan di dalam budaya tersebut.
Definisi tentang budaya (seperti Brislin, Lonner dan Thorndike, 1973; Kroeber dan Kluckhohn, 1952). Definisi budaya sebagai “seperangkat sikap, nilai, keyakinan, dan perilaku yang dilakukan oleh sekelompok orang, dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya lewat bahasa atau cara-cara lain berkomunikasi (Barnouw, 1985)”. Istilah budaya bisa digunakan dengan banyak cara dan memiliki sebuah sejarah yang panjang.
Salah satu alasan untuk mempelajari budaya dan inteligensi adalah keduanya berjalinan begitu rumit. Bahkan, Tomasello (2001) berpendapat bahwa budaya adalah apa yang memisahkan kecerdasan manusia dari kecerdasan hewan. Tomasello yakin manusia sudah berkembang sampai sekarang sebagian karena dipengaruhi oleh adaptasi budaya mereka, sesuatu yang berkembang dari kemampuan mereka bahkan sejak mereka masih bayi di usia 9 bulan sampai dewasa, untuk memahami orng lain sebagai agen-agen yang memiliki intensi tertentu.
Helmz-Lorenz dan kolega-koleganya (2003) berpendapat bahwa perbedaan-perbedaan ukuran di dalam performa intelektual tersebut bisa jadi merupakan hasil dari perbedaan-perbedaan di dalam kompleksitas budaya. Namun, kompleksitas sebuah budaya jelas sulit didefinisikan, dan apa yang tampaknya menjdi sesuatu yang sederhana atau kompleks dari sudut pandang sebuah budaya mungkin tampak berbeda dari sudut pandang yang lain.
Individu di budaya yang berbeda bisa jadi memiliki ide-ide yang berbeda tentang apa yang dimaksutkan dengan pintar. Contoh, salah satu studi lintas-budaya mengenai inteligensi yang dilakukan oleh Michael Cole dan kolega-koleganya (1971).
Beberapa peneliti telah menunjukan bahwa kemungkinan menyediakan tes-tes yang relevan secara budaya bisa saja dicapai. Tes-tes yang relevan dengan budaya mengukur kemampuan dan pengetahuan yang berkaitan dengan pengalaman budaya partisipan.
Singkatnya, untuk membuat sebuah tes relevan secara budaya, tampaknya kita memerlukan lebih daripada sekadar menghilangkan perintang-perintang linguistik yang spesifik bagi pemahaman. Efek-efek konteks yang sama tampak di dalam performa anak-anak dan orang dewasa di berbagai tugas. Ada tiga jenis konteks yang mempengaruhi performa yaitu :
  1. Konteks sosial
Contoh: Apakah sebuah tugas dianggap maskulin atau feminin?
  1. Konteks mental
contoh: Apakah sebuah tugas visuospasial melibatkan pembelian atau pencurian sebuah rumah?
  1. Konteks fisik
Contoh : Apakah sebuah tugas disajikan di pantai atau di Laboratorium??

Di dalam studi-studi ini, para peneliti lebih banyak mengamati interaksi antara kognisi dan konteks. Dari sini, beberapa peneliti yang lainmengusulkan beberapa teori untuk menguji secara eksplisit interaksi tersebut di dalam sebuah model yang lebih banyak mengintegrasikan sebagian besar aspek inteligensi. Teori-teori tersebut memandang inteligensi sebagai sebuah sistem kompleks.